Jumat, 03 April 2009

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN AGAMA

RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ..... TAHUN .....
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4),
Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003
Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN
AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk sikap peserta didik dalam mengamalkan ajaran agama pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
3. Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
4. Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu menyelenggarakan jenis pendidikan lainnya.
5. Pasraman adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal.
6. Pesantian adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau Kitab suci Weda.
7. Pabbajja samanera adalah satuan pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan formal dan nonformal.
8. Tempat pendidikan agama adalah ruangan yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan agama.
9. Rumah ibadah adalah bangunan yang secara khusus dibangun untuk keperluan tempat beribadah warga satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau masyarakat umum.
10. Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disingkat BSNP adalah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan.
11. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
BAB II
PENDIDIKAN AGAMA
Bagian Kesatu
Fungsi, Tujuan dan Sifat
Pasal 2
(1) Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan hubungan antar umat beragama.
(2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang mengimbangi penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Pasal 3
(1) Pelaksanaan pendidikan agama mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
(2) Pendidikan agama mendorong perserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.
(3) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
(4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat di internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5) Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan.
(6) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan
Pasal 4
(1) Setiap satuan pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
(2) Pendidikan agama diselenggarakan sekurang-kurangnya dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.
(3) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.
(4) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
(5) Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik.
(6) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan persyaratan agama yang dianut oleh peserta didik.
(7) Tempat melaksanakan ibadah agama sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya.
(8) Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Pendidik
Pasal 5
(1) Kualifikasi minimum pendidik pendidikan agama pada SD dan MI atau bentuk lain yang sederajat; SMP dan MTs atau bentuk lain yang sederajat; SMA, MA, SMK, MAK atau bentuk lain yang sederajat; dan pada perguruan tinggi mengacu pada ketentuan dalam Standar Nasional Pendidikan.
(2) Pendidik pendidikan agama adalah guru/dosen mata pelajaran/mata kuliah pendidikan agama.
(3) Pendidik pendidikan agama harus memiliki latar belakang agama sesuai dengan agama yang dianut peserta didik dan mata pelajaran agama atau mata kuliah pendidikan agama yang diajarkan.
(4) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan atau disediakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(5) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang mempunyai kekhasan agama harus menjaga prinsip kerukunan hidup inter dan antarumat beragama.
Bagian Keempat
Pengelolaan
Pasal 6
(1) Pengelolaan pendidikan agama pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dilimpahkan oleh Menteri kepada menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama
(2) Pengelolaan pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup penganggaran, pendidik, kurikulum, dan bahan ajar.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan pendidikan agama mengacu dalam standar nasional pendidikan.
Bagian Kelima
Pengawasan
Pasal 7
(1) Pengawas pendidikan agama melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan agama.
(2) Pengawas pendidikan agama harus memiliki sertifikat pendidikan fungsional sebagai pengawas.
(3) Pengawasan terhadap pelaksanaan teknis pendidikan agama dilaporkan kepada Kantor departemen tingkat Kabupaten/Kota atau Kantor departemen tingkat Wilayah yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama sekurang-kurangnya setiap akhir semester.
(4) Pihak yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3), wajib menindaklanjuti laporan tersebut untuk meningkatkan mutu pendidikan agama, termasuk tindak lanjut pengawasan dan penerapan sanksi administratif atas pelanggaran yang ditemukannya.
BAB III
PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Bagian Kesatu
Fungsi, Tujuan, Bentuk, dan Sifat
Pasal 8
(1) Pendidikan keagamaan berfungsi mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pasal 9
(1) Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.
(2) Pendidikan keagamaan selain yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
(3) Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu agama atau pendidikan terpadu ilmu agama dan ilmu umum/kejuruan.
(5) Penyelenggaraan pendidikan ilmu umum/kejuruan pada pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik yang ingin pindah atau melanjutkan ke pendidikan umum/kejuruan atau yang lainnya pada jenjang berikutnya.
(6) Pendidikan keagamaan nonformal dan informal dapat merupakan pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal.
(7) Pendidikan keagamaan pada jalur pendidikan informal mencakup pendidikan keagamaan di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya.
(8) Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh BSNP.
(9) Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.
(10) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Bagian Kedua
Peserta didik
Pasal 10
(1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan formal dapat memperoleh layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui program intra dan/atau ekstra kurikuler yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(2) Peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengembangkan bakat, minat, dan kemampuannya lebih lanjut pada tingkat lokal, nasional atau internasional melalui kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat.
Pasal 11
(1) Peserta didik pada satuan pendidikan keagamaan formal yang berprestasi yang orang tua/walinya tidak mampu berhak mendapat beasiswa dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
(2) Pemberian beasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan prinsip adil, memotivasi, dan cukup.
(3) Pemberian beasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan menteri yang menanagnai urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 12
(1) Peserta didik pada satuan pendidikan keagamaan formal yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya berhak mendapatkan biaya pendidikan.
(2) Pemberian biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan prinsip adil, memotivasi dan cukup.
(3) Pemberian biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 13
(1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan formal berhak pindah ke jalur atau satuan pendidikan lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
(2) Hak pindah yang dimiliki peserta didik pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memungkinkan peserta didik pendidikan keagamaan setingkat SD pindah ke SD/MI/Paket A, dan peserta didik pada pendidikan keagamaan setingkat SMP pindah ke SMP/MTs/Paket B, dan peserta didik pada pendidikan keagamaan setingkat SMA pindah ke SMA/MA/SMK/MAK/Paket C yang setingkat.
(3) Peserta didik yang lulus pendidikan keagamaan dapat diterima di jenjang pendidikan berikutnya pada jenis pendidikan lainnya setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Pasal 14
(1) Peserta didik yang memiliki kematangan emosional, sosial, dan kemandirian serta memenuhi keseluruhan standar kompetensi lebih cepat dari yang ditetapkan dalam kurikulum dapat mengikuti program pengayaan dan percepatan.
(2) Penentuan tingkat kematangan emosional, sosial, dan kemandirian peserta didik berdasarkan hasil evaluasi dan rekomendasi dari konselor atau ahli terkait.
(3) Peserta didik menyelesaikan program pendidikan formal sesuai dengan tingkat kecepatan belajar pada pendidikan keagamaan dasar sekurang-kurangnya 5 tahun, pendidikan keagamaan menengah pertama sekurang-kurangnya 2 tahun, dan pendidikan keagamaan menengah atas sekurang-kurangnya 2 tahun.
Pasal 15
(1) Dalam rangka menjaga norma-norma pendidikan, setiap peserta didik pada pendidikan keagamaan melalui bimbingan, keteladanan, dan pembiasaan berkewajiban:
a. mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. menghormati pendidik dan tenaga kependidikan lainnya;
c. menjalankan ibadah sesuai agama yang dianutnya;
d. memelihara kerukunan di antara teman;
e. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi sesama;
f. mencintai lingkungan, bangsa, dan negara; dan
g. menjaga dan memelihara sarana dan prasarana, kebersihan, ketertiban, dan keamanan satuan pendidikan.
(2) Setiap peserta didik ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali yang dibebaskan dari kewajiban.
Pasal 16
Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada pendidikan keagamaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian ketiga
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
Pasal 17
(1) Struktur kurikulum untuk satuan pendidikan keagamaan formal mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
(2) Struktur Kurikulum pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan secara proporsional dengan mempertimbangkan tujuan pendidikan keagamaan.
(3) Kurikulum pendidikan keagamaan formal jenjang pendidikan dasar ditetapkan dalam kerangka program wajib belajar.
(4) Kurikulum pendidikan keagamaan formal menengah dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup dan/atau pendidikan berbasis keunggulan lokal.
(5) Beban belajar dan waktu efektif tatap muka pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan oleh menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama setelah mendengar pertimbangan dari Menteri.
Bagian Keempat
Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pasal 18
Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan pada pendidikan keagamaan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Bagian Kelima
Sarana dan Prasarana
Pasal 19
Setiap satuan pendidikan keagamaan pada jalur pendidikan keagamaan formal harus memiliki sarana dan prasarana yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan.
Bagian Keenam
Pengelolaan
Pasal 20
(1) Pengelolaan di tingkat satuan pendidikan keagamaan menjadi tanggung jawab kepala satuan pendidikan keagamaan.
(2) Pengelolaan pendidikan keagamaan secara nasional dilimpahkan oleh Menteri kepada menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
(3) Pengelolaan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mengacu pada Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Bagian Ketujuh
Pengawasan
Pasal 21
(1) Menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama bertanggung jawab atas pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pendidikan keagamaan.
(2) Pengawasan mencakup pengawasan administratif dan pengawasan teknis edukatif penyelenggaraan pendidikan keagamaan.
(3) Pengawasan administratif dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawas fungsional yang berwenang dalam pengawasan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten /kota.
(4) Pengawasan teknis edukatif dilakukan oleh pengawas pendidikan keagamaan dengan prinsip memberikan bantuan profesional dalam pemecahan masalah pembelajaran.
(5) Dewan pendidikan dan komite satuan pendidikan keagamaan ikut melakukan pengawasan terhadap proses pembelajaran pada pendidikan keagamaan.
(6) Hasil pengawasan oleh pengawas, dewan pendidikan, dan komite satuan pendidikan keagamaan digunakan untuk bahan pertimbangan dalam melakukan peningkatan kualitas pendidikan keagamaan.
(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 20023 .
Bagian Kedelapan
Pendanaan
Pasal 22
Pendanaan pendidikan keagamaan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003..
Bagian Kesembilan
Pendirian
Pasal 23
(1) Pendirian pendidikan keagamaan pada jalur pendidikan formal oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat selain di daerah terpencil harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam Standar Nasional Pendidikan.
(2) Daerah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan daerah pada tingkat administrasi desa yang sulit mendapat akses komunikasi dan transportasi dari luar.
(3) Ketentuan pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan oleh Menteri kepada menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama..
Bagian Kesepuluh
Penilaian Hasil Belajar
Pasal 24
(1) Pada tingkat satuan pendidikan keagamaan jalur formal dilakukan penilaian hasil belajar peserta didik oleh pendidik dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Menteri dengan mendengar pertimbangan dari menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
Bagian Kesebelas
Akreditasi
Pasal 25
Akreditasi dilakukan terhadap program pendidikan keagamaan formal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
BAB IV
PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM
Bagian Kesatu
Bentuk
Pasal 26
(1) Pendidikan keagamaan Islam diselenggarakan dalam bentuk pendidikan diniyah pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan diniyah menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu agama Islam atau pendidikan terpadu ilmu agama Islam dan ilmu umum/kejuruan.
(3) Pendidikan diniyah jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
(4) Pendidikan diniyah diselenggarakan di dalam dan/atau di luar pesantren.
Bagian Kedua
Pendidikan Diniyah Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
Pasal 27
(1) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan dasar dan menengah diselenggarakan pada diniyah dasar dan menengah.
(2) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan sederajat Madrasah Ibtidaiyah (MI)/Sekolah Dasar (SD) yang terdiri atas 6 tingkat yaitu tingkat I sampai tingkat VI dan pendidikan diniyah sederajat Madrasah Tsanawiyah(MTs)/Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terdiri atas 3 tingkat yaitu tingkat VII sampai tingkat IX.
(3) Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah sederajat Madrasah Aliyah(MA)/Sekolah Menengah Atas (SMA) yang terdiri atas 3 tingkat yaitu tingkat X sampai tingkat XII.
Pasal 28
(1) Penamaan satuan pendidikan diniyah jalur pendidikan formal jenjang pendidikan dasar dan menengah merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(2) Pendidik pada pendidikan diniyah disebut guru/ustadz atau nama lain yang sejenis.
Pasal 29
(1) Untuk dapat diterima sebagai siswa pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 6 tahun.
(2) Untuk dapat diterima sebagai siswa pendidikan diniyah sederajat SMP/MTs, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah setingkat SD/MI.
(3) Untuk dapat diterima sebagai siswa pendidikan diniyah sederajat SMA/MA, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah setingkat SMP/MTs.
Pasal 30
(1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal sekurang-kurangnya memuat bahan kajian ilmu agama Islam, mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), dan Matematika (ilmu-l hisab) dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar.
(2) Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal sekurang-kurangnya memuat bahan kajian ilmu agama Islam, pendidikan kewarganegaraan, dan mata pelajaran Bahasa Indonesia.
(3) Bahan kajian Ilmu agama Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Dirasah Islamiyah yang klasifikasinya disederhanakan menjadi tema al Quran dan Tafsir, Hadits dan Mushtholahul Hadist, Aqidah, Usul Fiqh, Fiqh, Akhlak dan Tasawuf, Tarikh Islam, dan Bahasa Arab.
(4) Bahan kajian Ilmu agama Islam yang diklasifikasi dalam beberapa tema Dirasah Islamiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masing-masing dapat berupa mata pelajaran atau gabungan beberapa mata pelajaran.
(5) Ujian Nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pencapaian kompetensi peserta didik sesuai standar nasional pendidikan keagamaan.
(6) Ilmu agama Islam pada pendidikan diniyah dasar dan menengah yang merupakan mata pelajaran dalam ujian nasional keagamaan meliputi mata pelajaran Bahasa Arab dan ulumul Qur-an.
(7) Ketentuan lebih lanjut tentang kurikulum dan ujian nasional pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Menteri dengan mendengar pertimbangan dari menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
Bagian Ketiga
Pendidikan Diniyah Jenjang Pendidikan Tinggi
Pasal 31
(1) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan di dalam pesantren dan/atau di luar pesantren.
(2) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan di dalam pesantren disebut Ma’had ‘Aly atau nama lain yang sejenis.
(3) Penamaan satuan jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan di luar pesantren merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(4) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Tinggi sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Bagian Keempat
Pendidikan Diniyah Nonformal
Pasal 32
(1) Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur’an, Madrasah Diniyah, atau bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk satuan pendidikan.
(3) Pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama Kabupaten/Kota.
(4) Pendidikan diniyah nonformal yang tidak berbentuk satuan pendidikan wajib mendaftarkan diri kepada Kantor departemen yang menengani urusan pemerintahan di bidang agama Kabupaten/Kota.
(5) Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang berkembang menjadi satuan pendidikan harus memenuhi persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang satuan pendidikan.
Paragraf 1
Pengajian Kitab
Pasal 33
(1) Pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan /atau menjadi ahli ilmu agama Islam.
(2) Penyelenggaraan pengajian kitab dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang.
(3) Peserta didik pada pengajian kitab ditentukan oleh penyelenggara.
(4) Pengajian kitab diselenggarakan di dalam dan/atau di luar pesantren.
(5) Pengajian kitab di dalam pesantren diselenggarakan untuk mengkaji kandungan Al Quran dan As sunnah dan pemahaman transformatif atas kitab-kitab salaf (kitab kuning) dan kholaf (modern).
Paragraf 2
Majelis Taklim
Pasal 34
(1) Majlis taklim atau nama lain yang sejenis bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlaq mulia peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.
(2) Peserta didik Majelis Taklim terdiri atas remaja, pemuda, orang dewasa, laki-laki dan perempuan, dari semua unsur masyarakat muslim.
(3) Penyelenggaraan kegiatan Majelis Taklim dilaksanakan di masjid, mushalla, langgar, atau tempat lain yang memenuhi syarat sebagai tempat kegiatan pendidikan keagamaan pada masyarakat.
(4) Kurikulum Majelis Taklim bersifat terbuka dengan mengacu pada pemahaman terhadap Al Qur’an dan Hadits sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta akhlaq mulia.
(5) Pendidik Majelis Taklim adalah mubaligh, da’i, penyuluh agama Islam dan tokoh agama Islam.
Paragraf 3
Pendidikan Al Qur’an
Pasal 35
(1) Pendidikan Al Qur’an bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam membaca dan menulis Al Qur’an, melaksanakan ibadah mahdhah dan akhlaq mulia, serta menghafalkan do’a-do’a utama sebagai bagian dari pendidikan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
(2) Pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis.
(3) Penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang.
(4) Penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an dipusatkan di masjid, mushalla, langgar, atau ditempat lain yang memenuhi syarat sebagai tempat kegiatan pendidikan keagamaan Islam pada masyarakat.
(5) Kurikulum pendidikan Al-Qur’an adalah membaca, menulis dan menghafal ayat Al Qur’an, tajwid, ibadah mahdhah, dan menghafal do’a-do’a utama.
(6) Evaluasi hasil belajar pada pendidikan Al-Qur’an ditekankan pada keterampilan membaca dan menghafal ayat-ayat Al Qur’an, peraktek melaksanakan ibadah mahdhah, dan hafal do’a-do’a utama.
(7) Pendidik pada pendidikan Al-Qur’an minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas, Madrasah Aliyah, atau yang sederajat, dapat membaca Al Qur’an dengan tartil dan mengusai teknik pengajaran Al Qur’an yang efektif.
Paragraf 4
Madrasah Diniyah
Pasal 36
(1) Madrasah diniyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di perguruan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT. dan akhlaq mulia.
(2) Penyelenggaraan madrasah diniyah dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3) Penyelenggaraan madrasah diniyah dilaksanakan di masjid, mushalla, langgar, atau di tempat lain yang memenuhi syarat sebagai tempat kegiatan pendidikan keagamaan berbasis masyarakat.
(4) Penyelenggaraan Madrasah Diniyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau perguruan tinggi umum.
Bagian Kelima
Pesantren
Pasal 37
(1) Pendidikan pesantren bertujuan menanamkan pada santri dasar-dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlaq mulia, dan nilai-nilai kepesantrenan, mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan dengan tujuan utama menjadi ahli ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) atau menjadi muslim yang memiliki keunggulan keterampilan/ keahlian/profesi lain untuk membangun kehidupan yang Islami pada setiap orang, keluarga, dan masyarakat.
(2) Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah jalur pendidikan formal dan/atau nonformal.
(3) Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah jenjang pendidikan dasar, menengah, dan/atau tinggi.
(4) Pesantren dapat menyelenggarakan pendidikan diniyah secara terpadu dengan pendidikan umum dan/atau pendidikan kejuruan jenjang pendidikan dasar, menengah, dan/atau tinggi.
(5) Pesantren bersama Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melaksanakan program wajib belajar pendidikan dasar bagi peserta didik berusia wajib belajar sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
(6) Pesantren bersama Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melaksanakan pendidikan keaksaraan bagi peserta didik buta aksara.
Pasal 38
(1) Pemerintah melakukan registrasi terhadap pesantren.
(2) Kewenangan mengatur registerasi pesantren dilimpahkan oleh Menteri kepada menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
(3) Penyediaan sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia pesantren menjadi tanggung jawab penyelenggara.
(4) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat memberi bantuan sumberdaya pendidikan kepada pesantren.
Pasal 39
(1) Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan program pendidikan masing-masing pesantren selama tidak berlawanan dengan tujuan pendidikan nasional dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pesantren secara mandiri dan/atau bersama lembaga pendidikan lain, serta Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengembangkan struktur keilmuan pesantren dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan keagamaan Islam dan mengantisipasi perubahan zaman.
(3) Struktur keilmuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup pengelompokan dan penjenjangan kurikulum kitab-kitab keagamaan, serta kualifikasi dan penjenjangan tingkat kemampuan santri sebagai peserta didik yang mendalami dan/atau ahli di bidang ilmu agama Islam.
Pasal 40
(1) Peserta didik pada pesantren disebut santri dan diasuh oleh kiyai.
(2) Santri berhak memperoleh ijazah dari satuan pendidikan diniyah formal, SD/MI, SMP/MTs, SMU/MA, SMK/MAK, program pendidikan kesetaraan paket A, B, atau C atau bentuk satuan pendidikan lain yang terakreditasi setelah lulus ujian sekolah dan ujian nasional.
(3) Santri yang memiliki ijazah dari satuan pendidikan yang terakreditasi atau tidak memilikinya berhak memperoleh sertifikat kompetensi dalam bidang keahlian tertentu yang dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi mandiri untuk digunakan dalam memperoleh kesempatan yang sama dengan lulusan pendidikan formal untuk bekerja sesuai dengan bidang keahliannya itu.
BAB V
PENDIDIKAN KEAGAMAAN KRISTEN
Bagian Kesatu
Bentuk
Pasal 41
(1) Pendidikan keagamaan Kristen diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan menengah, dan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibina oleh menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
(4) Kegiatan pendidikan keagamaan Kristen nonformal dan informal diselenggarakan oleh Gereja dan atau lembaga keagamaan Kristen.
Pasal 42
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal jenjang pendidikan menengah dan tinggi merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Pendidikan Keagamaan Kristen Menengah
Pasal 43
(1) Pendidikan keagamaan Kristen adalah Sekolah Menengah Agama Kristen (SMAK) dan Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK) atau yang sederajat, terdiri atas 3 tingkat.
(2) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pada pendidikan menengah keagamaan Kristen seseorang harus beragama Kristen dan berijazah SMP atau yang sederajat.
(3) Pengelolaan SMAK dan SMTK diselenggarakan oleh Gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen.
(4) Tatacara pengajuan pendirian satuan pendidikan keagamaan Kristen tingkat menengah ditetapkan oleh Menteri Agama.
(5) Kurikulum SMAK dan SMTK memuat bahan kajian tentang agama/teologi Kristen dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(6) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral merupakan kewenangan Gereja dan/atau kelembagaan Kristen.
(7) Pendanaan bagi penyelenggaraan pendidikan keagamaan Kristen jenjang menengah diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah tentang Tanggungjawab pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan.
Bagian Ketiga
Pendidikan Keagamaan Kristen Jenjang Pendidikan Tinggi
Pasal 44
(1) Pendidikan tinggi keagamaan Kristen diselenggarakan oleh gereja dan atau lembaga keagamaan Kristen.
(2) Pendidikan keagamaan jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) dan Sekolah Tinggi Teologi (STT) atau bentuk lain yang sejenis.
(3) STAK, STT atau bentuk lain yang sejenis dapat diselenggarakan oleh Pemerintah/pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(4) Penamaan satuan jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Isi/materi kurikulum menyangkut iman dan moral pendidikan keagamaan Kristen/Teologi jenjang pendidikan tinggi dan merupakan kewenangan gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen.
(6) Pendidikan keagamaan jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundangan tentang pendidikan tinggi.
(7) Untuk dapat diterima sebagai mahasiswa pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen seseorang harus beragama Kristen dan berijazah SMA atau yang sederajat.
(8) Pendanaan bagi penyelenggaraan pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan tinggi diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah tentang Tanggungjawab pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
BAB VI
PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK
Bagian Kesatu
Bentuk
Pasal 45
(1) Pendidikan keagamaan Katolik diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Katolik pada jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Katolik pada jalur formal dibina/ditetapkan oleh departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama .
(4) Kegiatan pendidikan keagamaan Katolik nonformal dan informal diselenggarakan oleh Gereja Katolik.
Pasal 46
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Katolik jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Pendidikan Keagamaan Katolik Tingkat Menengah
Pasal 47
(1) Pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah merupakan sekolah menengah agama Katolik (SMAK) dan sederajat yang terdiri atas tiga tingkat.
(2) Pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah dibina/ditetapkan oleh menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 48
(1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan menengah keagamaan Katolik seseorang harus berijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau yang sederajat.
(2) Lama pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah sekurang-kurangnya 2 tahun.
Pasal 49
(1) Kurikulum pendidikan keagamaan memuat bahan kajian tentang agama Katolik dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(2) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral merupakan wewenang Gereja Katolik/Uskup.
Pasal 50
Pengelolaan Satuan pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah dilakukan oleh gereja Katolik/ keuskupan.
Pasal 51
Akreditasi satuan pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah dilakukan oleh Menteri Agama dan/atau lembaga mandiri yang disetujui oleh Gereja Katolik.
Bagian Ketiga
Pendidikan Keagamaan Katolik Jenjang Pendidikan Tinggi
Pasal 52
(1) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan oleh gereja Katolik/keuskupan.
(2) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan satuan pendidikan tinggi keagamaan yang mendapat ijin dari departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
(3) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Pastoral/Kateketik/Teologi atau bentuk lain yang sejenis dan sederajat.
(4) Penamaan satuan pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan hak penyelenggara yang bersangkutan.
(5) Isi /materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan kewenangan Gereja Katolik.
(6) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai ketentuan Hukum Kanonik Gereja Katolik dan mengindahkan peraturan perundangan tentang pendidikan tinggi.
(7) Tata cara pendirian penyelenggaraaan pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
(8) Akreditasi pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi dilakukan oleh menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama dan/atau bersama Badan Konsorsium Ilmu Agama/Teologi Katolik.
(9) Pendanaan bagi penyelenggaraan pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah tentang Tanggungjawab pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan.
(10) (10)Untuk dapat diterima sebagai mahasiswa pada pendidikan tinggi keagamaan Katolik seseorang harus berijazah SMA atau sederajat.
BAB VII
PENDIDIKAN KEAGAMAAN HINDU
Bagian Kesatu
Bentuk
Pasal 53
(1) Pendidikan keagamaan Hindu merupakan pendidikan berbasis masyarakat yang diselenggarakan dalam bentuk pasraman, pesantian, dan bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan pasraman diselenggarakan pada jalur formal, dan nonformal.
(3) Pendidikan pasraman diselenggarakan pada jalur formal anak usia dini, setingkat Taman Kanak-kanak disebut Pratama Widya Pasraman, menyelenggarakan pendidikan dua tingkat yaitu tingkat Pratama Widya Pasraman A (TK A) dan tingkat Pratama Widya Pasraman B (TK B).
(4) Pendidikan pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat Sekolah Dasar disebut Adi Widya Pasraman, terdiri atas enam tingkat.
(5) Pendidikan pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat SMP disebut Madyama Widya Pasraman, terdiri atas 3 tingkat.
(6) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan menengah setingkat SMA disebut Utama Widya Pasraman, terdiri atas 3 tingkat.
(7) Pendanaan bagi Pendidikan Pasraman pada jalur formal dan nonformal diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah tentang Tanggungjawab pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Pasal 54
(1) Untuk dapat diterima sebagai siswa (Brahmacari) Adi Widya Pasraman, seseorang harus beragama Hindu dan berijazah Pratama Widya Pasraman atau yang sederajat.
(2) Untuk dapat diterima sebagai siswa (Brahmacari) Madyama Widya Pasraman seseorang yang beragama Hindu dan berijazah Adi Widya Pasraman atau yang sederajat.
(3) Untuk dapat diterima sebagai siswa (Brahmacari) Utama Widya Pasraman seseorang harus beragama Hindu dan berijazah Madyama Widya Pasraman atau yang sederajat.
(4) Siswa (Brahmacari) pada pendidikan Adi Widya Pasraman, Madyama Widya Pasraman, dan Utama Widya Pasraman berhak menyelesaikan program pendidikan Adi Widya Pasraman sekurang-kurangnya berusia 6 tahun, Madyama Widya Pasraman sekurang-kurangnya berusia 3 tahun, dan Utama Widya Pasraman sekurang-kurangnya berusia 3 tahun.
(5) Siswa (Brahmacari) pada pendidikan Pasraman berkewajiban melaksanakan warna asrama dharma;
(6) Acarya atau pendidik membimbing, menuntun, dan membekali siswa (Brahmacari) dengan pengetahuan agama lainnya sesuai dengan kurikulum.
Pasal 55
Kewenangan mengatur perijinan pendirian Pasraman dilimpahkan oleh Menteri kepada menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
Bagian Kedua
Maha Widya Pasraman
Pasal 56
(1) Maha Widya Pasraman atau pendidikan keagamaan tinggi Hindu, diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat.
(2) Penamaan satuan jenjang Maha Widya Pasraman yang diselenggarakan oleh masyarakat merupakan hal penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Maha Widya Pasraman diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pendidikan tinggi.
(4) Pendanaan bagi Pendidikan kegamaan Hindu pada semua jalur dan jenjang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah tentang Tanggungjawab pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan.
Bagian Ketiga
Pendidikan Keagamaan Hindu Nonformal
Pasal 57
(1) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal dilaksanakan dalam bentuk pesantian, sad dharma yaitu dharmatulla, dharma sadhana, dharma wacana, dharma yatra, dharma gita, dharma santi atau dalam bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal merupakan kegiatan pendidikan keagamaan Hindu secara berjenjang atau tidak berjenjang bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama di sekolah formal dalam rangka meningkatkan sraddha dan bhakti peserta didik.
(3) Penyelenggaraan pendidikan keagamaan Hindu nonformal sebagai kegiatan pendidikan keagamaan Hindu berbasis masyarakat, diselenggarakan oleh lembaga sosial dan tradisional keagamaan Hindu, dilaksanakan di lingkungan tempat ibadah, balai adat, dan tempat lainnya yang memenuhi syarat.
(4) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal didaftarkan keberadannya kepada departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama dan Pemerintah Daerah.
(5) Pendanaan bagi penyelenggaraan pendidikan keagamaan Hindu pada semua jalur nonformal pada semua jalur dan jenjang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah tentang Tanggungjawab pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
BAB VIII
PENDIDIKAN KEAGAMAAN BUDDHA
Bagian Kesatu
Bentuk
Pasal 58
(1) Pendidikan keagamaan Buddha diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan nonformal dalam bentuk program: Sekolah Minggu Buddha, Pabbajja Samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Buddha dilakukan dan dibantu oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan
Pasal 59
(1) Sekolah Minggu Buddha merupakan kegiatan belajar mengajar nonformal yang dilaksanakan di Vihara atau Cetya setiap hari Minggu secara rutin.
(2) Sekolah Minggu Buddha bertujuan untuk menanamkan saddha /sraddha dan bhakti peserta didik dalam rangka meningkatkan keimanan umat Buddha secara berkesinambungan.
(3) Sekolah Minggu Buddha diselenggarakan secara berjenjang atau tidak berjenjeng.
(4) Sekolah Minggu Buddha merupakan pelengkap atau bagian dari pendidikan agama pada satuan pendidikan formal.
(5) Kurikulum Sekolah Minggu Buddha memuat bahan kajian Paritta /Mantram, Dharmagita, Dhammapada, Meditasi, Jataka, Riwayat Hidup Buddha Gotama, dan Pokok-pokok Dasar Agama Buddha.
(6) Tenaga Pendidik pada Sekolah Minggu Buddhis mencakup Bhikkhu /Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Samanera /Sramanera, Samaneri /Sramaneri, Pandita, atau yang berkompetensi.
Pasal 60
(1) Pabbajja Samanera adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh Sangha atau Majelis Keagamaan Buddha bertempat di Vihara/Cetiya yang diperuntukkan khusus bagi samanera, samaneri, silacarini, buddha siswa, dalam rangka peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan.
(2) Pabbajja Samanera bertujuan untuk menanamkan disiplin pertapaan sesuai dengan ajaran Sang Buddha dalam meningkatkan kualitas keimana umat Buddha.
(3) Pabbajja Samanera dilaksanakan sekurang-kurangnya dua minggu.
(4) Peserta didik Pabbajja Samanera meliputi anak-anak, remaja, dan dewasa.
(5) Kurikulum Pabbajja Samanera meliputi Riwayat Hidup Buddha Gotama, etika samanera, pokok-pokok dasar agama Buddha, paritta/mantra, meditasi, kedharmadutaan, dan materi penting terkait lainnya.
(6) Guru atau pendidik pada Pabbajja Samanera mencakup para Bhikkhu /Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Pandita, Guru Agama, atau yang berkompetensi.
BAB IX
SANKSI
Pasal 61
(1) Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dikenakan sanksi administratif berupa peringatan hingga penutupan setelah diadakan pembinaan/pembimbingan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan memperhatikan pertimbangan dari dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas pelanggaran yang dilakukan pendidikan tinggi dilakukan oleh Menteri, sedang pada pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh Bupati/Walikota.
(3) Pemerintah/pemerintah daerah wajib menyalurkan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang ditutup ke satuan pendidikan lain yang sejenis.
(4) Tata cara pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur melalui keputusan bersama antara Menteri dan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
BAB X
KETENTUAN LAIN
Pasal 62
Seluruh satuan pendidikan, program, dan kegiatan pendidikan keagamaan diselenggarakan dengan mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 63
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang ada pada saat diberlakukan Peraturan Pemerintah ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 64
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan peraturan pemerintah ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak diberlakukan.
Pasal 65
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal: …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

LEMBARAN NEGARA NOMOR ... TAHUN ...
Diundangkan di Jakarta
Pada Tanggal: …
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

(ttd)

Hamid Awaludin
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR ... TAHUN ...



Selanjutnya......
JAKARTA - PDI Perjuangan selama sepekan ini menurunkan kecamannya tentang bantuan langsung tunai (BLT). Lebih lunak dan terkesan mau sportif. Lewat iklan politik terbarunya pula, PDIP mengesankan ingin meluruskan citra serta posisi mereka terhadap BLT.

Secara halus, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut mengklaim bahwa suksesnya pendistribusian BLT ke masyarakat tak terlepas dari peran PDIP melalui Fraksi PDIP di DPR.

Tentu saja manuver tersebut memanaskan telinga petinggi Partai Demokrat. Mereka menganggap iklan politik yang sudah beredar di televisi swasta beberapa hari terakhir itu semata-mata bermotif kampanye.


''Boleh dibilang ini menumpang dengan cara selundupan terhadap program pemerintah,'' kata Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum di Jakarta kemarin (2/4).

Sebelumnya, PDIP terkesan sangat anti-BLT. Serangkaian pernyataan keras yang dilontarkan Megawati semakin menguatkan image tersebut. Kritiknya kian memuncak dalam musim kampanye pemilu legislatif kali ini.

Tapi, 24 Maret, Megawati banting setir menginstruksi seluruh calegnya untuk memantau pendistribusian BLT. Putri proklamator itu berkilah bahwa program BLT diputuskan bersama di DPR. Karena itu, sebagai oposisi, fraksi dan partainya harus mengawal dan mengawasi BLT agar sampai kepada yang berhak.

Instruksi Megawati itu langsung ditindaklanjuti. Keesokannya, Ketua DPP PDIP Puan Maharani, putri Megawati Soekarnoputri, turun memantau pembagian BLT di Kantor Pos Rawamangun, Jalan Pemuda, Kelurahan Jati, Jakarta Timur. Dia berada di sana bersama sejumlah pimpinan DPD PDIP DKI Jakarta selama 45 menit.

Nah, iklan politik PDIP mulai beredar tiga hari kemudian. ''Alhamdulillah BLT sudah kami terima. PDIP memang partainya wong cilik,'' ujar suami-istri penerima BLT dalam iklan tersebut.

Anas dengan nada menyindir menyatakan menyambut baik perubahan sikap PDIP tersebut. Dia menyebut perubahan itu sudah benar. ''Ternyata program yang dimaki sebagai merusak harga diri rakyat sekarang diakui, sampai dijadikan kendaraan kampanye. Ini namanya sikap isuk dele sore tempe,'' ujarnya.(pri/mk)



Selanjutnya......